Beha69 – Di sebuah kota kecil bernama Greenwood, kehidupan berjalan tenang. Warga desa terbangun di pagi hari, pergi bekerja, dan berkumpul dengan teman-teman. Namun, di balik suasana damai itu, ada sesuatu yang gelap dan menunggu untuk muncul. Sebuah eksperimen rahasia yang dilakukan oleh sekelompok ilmuwan di laboratorium tua di pinggiran kota telah mengubah segalanya. Mereka berusaha menciptakan serum untuk menghidupkan kembali jaringan mati, tetapi entah bagaimana, serum itu justru menjadi penyebab wabah mematikan.
Hari pertama wabah dimulai tanpa banyak perhatian. Beberapa penduduk desa melaporkan mengalami gejala flu yang aneh, seperti demam tinggi, kelelahan, dan berhalusinasi. Mereka mengira ini hanya flu biasa. Namun, ketika orang-orang mulai menghilang, ketegangan mulai dirasakan di seluruh desa.
Seorang pemuda bernama Amir, yang bekerja paruh waktu di restoran, menjadi salah satu yang pertama merasakan bahwa ada sesuatu yang tidak beres. Suatu malam, ketika ia pulang setelah menutup restoran, Amir melihat seorang tetangga, Pak Tani, yang biasanya ceria, berjalan sempoyongan. Pak Tani tampak pucat dan matanya kosong, seolah kehilangan jiwa. Amir merasa ada yang aneh dan berusaha menyapa.
“Pak Tani? Kenapa kau tidak tidur?” Amir berusaha bertanya, tetapi Pak Tani hanya menggeram dan tidak menjawab.
Khawatir, Amir mempercepat langkahnya dan pulang dengan perasaan tidak enak. Di perjalanan, ia melihat lebih banyak orang dengan kondisi serupa. Rasa penasaran mendorongnya untuk menghubungi temannya, Wati, untuk mengetahui apa yang terjadi.
“Wati, kita perlu bicara. Ada sesuatu yang sangat tidak beres di desa kita,” ujar Amir saat menelepon.
“Amir, aku juga merasakannya! Aku baru saja melihat Ibu Siti. Dia tidak terlihat seperti biasanya, matanya…. matanya kosong. Aku rasa kita harus ke lab tua di pinggiran desa. Mungkin di sana ada jawaban,” sahut Wati, suaranya penuh kekhawatiran.
Malam itu, Amir dan Wati berangkat menuju laboratorium tua. Ketika mereka tiba, suasana sunyi mencekam. Bangunan tua itu dipenuhi dengan rumput liar dan jendela yang pecah. Amir dan Wati saling menatap, merasa ketegangan menyelimuti mereka. Mereka memutuskan untuk masuk, berharap menemukan petunjuk tentang apa yang telah terjadi di desa.
Di dalam, suasana semakin menakutkan. Lampu-lampu berkedip, dan suara-suara aneh terdengar dari belakang pintu. Amir dan Wati menghidupkan senter mereka dan menjelajahi lorong-lorong gelap. Di salah satu ruangan, mereka menemukan catatan penelitian yang ditinggalkan, anehnya, tinta di halaman-halaman itu tampak mengering, seolah-olah ada yang terburu-buru untuk meninggalkannya.
Kata demi kata di dalam catatan itu menjelaskan eksperimen mereka dengan serum yang disebut “Revivifikasi”. “Kita telah berhasil menghidupkan kembali sel-sel mati, tetapi ada efek samping yang tidak terduga… jika terpapar dalam dosis tinggi, subjek akan kehilangan kesadaran dan ingin menyerang sebagai makhluk yang kelaparan,” tulis salah satu ilmuwan.
Amir dan Wati saling berpandangan. “Jadi, ini semua adalah akibat serum yang menciptakan zombie?” tanya Wati, suaranya bergetar.
“Sepertinya begitu,” jawab Amir, rasa paniknya meningkat. “Kita harus memberi tahu orang-orang di desa. Kita perlu menghentikan ini sebelum semuanya terlambat!”
Namun, sebelum mereka bisa keluar dari lab, suara berisik penuh derak menggema. Dari bayang-bayang, sosok gelap muncul. Itu adalah Pak Tani, tetapi tidak seperti sebelumnya. Dihadapan mereka, Pak Tani berdiri dengan wajah yang menyeringai, matanya merah menyala.
“Brahh!! Kembali ke sini…” suara serak Pak Tani membuat tubuh mereka menggeletar.
“Lari, Amir!” Wati teriak.
Mereka berbalik dan berlari sekuat tenaga menuju pintu keluar, tetapi jalan menuju pintu tampak terhalang. Amir berusaha mencari jalan keluar lain. “Ke sini!” teriak Amir sambil menarik Wati ke arah koridor lain. Di tengah keputusasaannya, mereka bersembunyi di dalam salah satu ruangan.
Di dalam ruangan kecil gelap itu, mereka mendengar suara langkah kaki dan derak tubuh yang tidak teratur. “Ini bukan saatnya bersembunyi,” Amir berbisik, berusaha mengingat semua jalan di sekitar. “Ayo cari cara keluar dari sini.”
Berhati-hati, mereka berusaha membuka salah satu pintu, dan untuk keberuntungan mereka, pintu itu terbuka. Begitu keluar, mereka menemukan diri mereka di lorong utama. Namun, suasana berubah mengguncang. Bisingnya gigi berdenting dan teriakan penuh kemarahan memecah keheningan malam.
“Di sini! Masuk ke dalam!” Amir berteriak dan menarik Wati ke salah satu ruangan, memaksa pintu tertutup.
Sempat terhenti sejenak, mereka berusaha mendengarkan. “Apa yang terjadi di desa kita, Amir?” tanya Wati dengan ketakutan.
“Sepertinya, semuanya karena serum itu. Kita perlu mencari cara untuk mengakhiri semuanya,” jawab Amir.
“Bagaimana jika kita menghancurkan lab ini? Mungkin dengan begitu, wabah ini akan berhenti!” Wati mengusulkan rindang.
Sambil berpikir, Amir mengingat sesuatu. Di dalam catatan penelitian, mereka menemukan informasi tentang bahan-bahan beracun yang ada di laboratorium, dan mereka bisa menggunakan itu untuk menghancurkan serum. “Kita punya peluang untuk melakukan itu. Kita harus pergi ke laboratorium di bagian belakang!”
Mereka melangkah perlahan-lahan, menahan napas hingga mencapai bagian belakang laboratorium. Di sana, mereka menemukan rak berisi bahan-bahan kimia berbahaya. Dengan cepat, Amir mengumpulkan beberapa botol berisi bahan-bahan beracun. “Ayo, kita perlu sesuatu yang bisa dijadikan bahan peledak!”
Saat mereka mengumpulkan bahan-bahan yang diperlukan, suara derakan mengingatkan mereka akan kehadiran zombie-zombie yang masih mengintai di dekat mereka. “Kita tidak banyak waktu, Wati!” Amir berteriak, matanya berkilau dengan ketegangan.
Akhirnya, mereka berhasil menyiapkan semuanya. Amir meracik bahan-bahan beracun dalam sebuah wadah sederhana dan menyiapkan sumbu peledak. “Ini dia! Kita harus ke luar dan menghancurkan lab!” teriaknya dengan semangat.
Namun, di saat mereka siap untuk pergi, pintu ruang lab terbuka. Seorang zombie lain muncul, dan kali ini wajahnya lebih menyeramkan, dengan jejak darah di sudut mulutnya. “Kembalilah!” teriak zombie itu dengan suara serak.
“Lari!” Amir menunjukkan jalan menuju jendela yang terbuka. Mereka berlari sekuat tenaga menjauh dari zombie yang mendekat. Wati dan Amir melompati jendela yang pecah, mendarat di tanah dengan suara berdebam.
“Tapi, Amir! Bagaimana dengan bahan peledaknya?” Wati berteriak.
“Terlalu berbahaya untuk dibawa. Kita harus kembali ke desa dan memberi tahu orang-orang tentang apa yang terjadi,” Amir berusaha tenang, meskipun dia tahu bahwa mereka sedang dalam bahaya.
Saat mereka berlari menuju desa, warga desa yang lain mulai menyadari ada yang tidak beres. Beberapa dari mereka telah terinfeksi dan berlari di antara jalanan, menyerang siapa saja yang berusaha melawan. “Kita harus mencari perlindungan!” Amir berteriak kepada Wati.
Mereka bergegas menuju pusat kota, di mana sebuah gedung pemerintah tua berdiri. Amir dan Wati berlari masuk, berusaha mencari tempat bersembunyi. Di dalam, mereka menemukan sekelompok orang yang juga mencari perlindungan. Mereka termasuk teman-teman Amir dan Wati, seperti Rina dan Joko.
“Amir! Wati! Kalian selamat?” Rina bertanya penuh rasa syukur.
“Ya, tetapi situasinya semakin buruk. Kita harus bertindak cepat. Ada serum kampus yang jadi alasan ini, kita harus menghentikannya!” Amir menjelaskan dengan cepat.
Joko, yang dikenal karena keberaniannya, berkata, “Kita bisa bergabung untuk melawan mereka. Jika kita berjuang bersama, kita bisa melindungi desa.”
Mendengar kata-kata Joko, mereka semua setuju untuk mencari cara untuk melawan para zombie. Persiapan dilakukan untuk membuat strategi. Mereka menggunakan semua yang mereka bisa—alat pemadam kebakaran, tongkat, dan barang-barang yang dapat dijadikan senjata.
Saat malam semakin larut, suara hiruk-pikuk dari luar semakin mendekat. Para zombie menggeram dan menyerang gedung. “Kita tidak punya waktu lebih banyak! Kita harus mencari bahan-bahan berbahaya dari laboratorium,” Amir berkata tegas.
Wati mengangguk, “Ayo kita kembali dan menghancur mereka. Kita tidak akan membiarkan desa ini hancur!”
Dengan tekad, mereka bergerak dalam dua kelompok ke arah laboratorium. Langkah mereka bergetar dengan penuh ketegangan. Di tengah perjalanan, mereka harus menghadapi segerombolan zombie yang muncul dari bayang-bayang. Tidak ada pilihan lain, mereka menerjang maju.
Joko dan Amir maju dengan semangat berapi-api, menggunakan tongkat untuk menyerang zombie. Sementara Rina dan Wati berusaha mencari arah menuju laboratorium dan mengumpulkan bahan-bahan yang diperlukan.
Pekikan dan teriakan menghiasi malam saat pertarungan sengit terjadi. Para zombie menyerang dengan brutal, tetapi kelompok Amir tidak menyerah. Dengan berani, mereka menerjang dan menghindar, melawan setiap ancaman.
Setelah melewati berbagai rintangan, mereka akhirnya berhasil sampai ke laboratorium. Di sana, mereka segera melakukan serangan terhadap rak-rak bahan berbahaya, dan Amir dengan cepat meracik bom peledaknya. Wati dan Rina berjaga-jaga di sekitar untuk melindungi mereka dari serangan zombie.
“Segera! Ini saatnya!” Amir berteriak saat menyelesaikan meracik bahan-bahan berbahaya tersebut. “Kita harus melemparkannya ke arah zombie!”
Dengan semangat, Amir melemparkan bom racikan itu ke arah segerombolan zombie yang menggeram. Ledakan besar mengguncang ruangan, memecahkan jendela dan menimbulkan asap tebal. Semua orang berlari meninggalkan tempat tersebut dan kembali ke pusat kota.
Di tengah kebakaran yang menyelimuti laboratorium, mereka melihat gelombang cahaya yang menyilaukan, menciptakan harapan baru. Warga desa mulai berkumpul untuk berjuang bersama, tergerak oleh keberanian Amir dan bukti bahwa mereka bisa melawan balik para zombie.
Satu persatu, mereka berjuang melawan para zombie. Dengan senjata seadanya dan keberanian luar biasa, penduduk berhasil mengalahkan para zombie di desa mereka.
Setelah malam yang panjang dan melelahkan, ketika cahaya pagi mulai muncul, Amir, Wati, dan teman-teman mereka akhirnya bisa bernapas lega. Mereka telah bekerja sama untuk menyelamatkan desa dari bencana ini, dan kini mereka tahu, bahwa kenyataan hidup selalu lebih kuat saat mereka bersatu.
Hari-hari berikutnya, penduduk desa berusaha membangun kembali kehidupan mereka. Mereka belajar dari pengalaman pahit yang mereka alami dan tetap berpegang pada harapan bahwa tidak akan terjadi lagi masa-masa kelam seperti itu di Greenwood.
Walaupun beberapa tidak selamat, ingatan akan perjuangan mereka tidak akan pernah terlupakan. Persahabatan, keberanian, dan cinta mereka untuk desa akan abadi selamanya dalam hati, yang lebih kuat dari ancaman zombie mana pun
KEYAKINAN.COM – Yakin Loe?