Beha69 – Di pinggir desa kecil yang dikelilingi oleh bukit-bukit hijau, terdapat sebuah hutan lebat yang dikenal dengan sebutan Hutan Hijau. Hutan ini terlihat indah dengan pepohonan yang rimbun dan dedaunan berwarna hijau cerah. Namun, di balik keindahannya tersebut, hutan ini menyimpan kegelapan yang membuat penduduk desa takut untuk mendekat, terutama saat malam tiba.
Konon, ada banyak cerita menyeramkan tentang orang-orang yang hilang di dalam hutan tersebut. Beberapa mengatakan bahwa hutan itu dihuni oleh makhluk halus yang ingin melindungi rahasia kuno, sementara yang lain percaya bahwa ada hantu yang berkeliaran mencari jiwa-jiwa yang terperangkap.
Suatu hari, sekelompok remaja—Budi, Tia, dan Sandi—memutuskan untuk pergi berkemah di Hutan Hijau. Mereka ingin membuktikan bahwa semua cerita tentang hutan itu hanyalah mitos belaka dan mengabaikan peringatan dari penduduk desa. “Ayo, kita buktikan siapa yang berani!” seru Budi dengan semangat.
“Kalau kalian takut, kita bisa pulang,” Tia menantang keduanya. Meskipun suara hatinya sedikit ragu, ia berusaha untuk bersikap berani.
Saat mereka berjalan memasuki hutan, suasana mulai berubah. Suara burung dan serangga seakan menghilang, tergantikan oleh bisikan angin yang meresap ke dalam jiwa. “Kau merasakannya, kan? Sepertinya ada yang tidak beres,” bisik Sandi dengan nada waspada.
“Ah, jangan khawatir! Itu hanya hutan. Ayo terus!” ajak Budi, berusaha menepis ketakutan temannya. Mereka melangkah lebih dalam, jauh dari batas desa.
Setelah beberapa jam bergerak, mereka menemukan tempat yang cocok untuk berkemah. Mereka mendirikan tenda dan menyalakan api unggun. “Kita harus bercerita tentang hal-hal menakutkan, biar lebih seru!” kata Tia, berusaha menciptakan suasana.
Malam semakin larut, dan bintang-bintang mulai bermunculan. Saat mereka berkumpul di sekitar api unggun, Tia mulai bercerita. “Dulu, ada seorang perempuan yang hilang di hutan ini. Konon, dia mencari saudaranya dan tidak pernah kembali. Hasilnya, roh perempuan itu terjebak di hutan dan sering terlihat bergentayangan, merindukan keluarganya.”
Mendengar hal itu, Sandi merasa merinding. “Kau tidak seharusnya bercerita tentang hal-hal ini di hutan,” bisiknya.
Tetapi Budi hanya tertawa. “Itu hanya cerita. Kita harus bisa bersenang-senang!” Ia beranjak untuk mengambil minuman, lalu tanpa disadari, ia pergi terlalu jauh dari api unggun.
Sebentar, hutan terasa semakin mencekam. Tia dan Sandi mulai saling berpandangan. “Kita harus memanggil Budi,” kata Sandi, khawatir. “Dia sudah terlalu lama.”
Sementara itu, Budi yang sedang mencari minuman tanpa sadar telah tersesat. Hutan tampak lebih gelap dan sudut-sudutnya mulai terasa lebih menyeramkan. Ia mendengar suara-suara aneh dari balik pepohonan. “Budi! Kembali ke sini!” teriak Tia dari kejauhan.
Budi berusaha mencari arah suara itu, tetapi suara dari balik hutan semakin keras dan aneh. Seakan ada makhluk lain yang mengikutinya. Berjalanlah, tak terasa, Budi semakin tersesat. Ia panik, berusaha menemukan jalan kembali ke tempat teman-temannya.
“Ini tidak lucu!” jerit Budi, keberaniannya mulai memudar. Namun, di tengah keheningan malam, ia masih bisa mendengar bisikan-bisikan samar yang seolah berasal dari hutan.
Saat Budi berbalik, ia melihat sosok samar bergerak di antara pepohonan. Hatinya berdegup kencang. “Siapa di sana?” ia bertanya dengan suara bergetar. Tidak ada jawaban, hanya suara hutan yang semakin menakutkan.
Di tempat lain, Tia dan Sandi mulai khawatir setelah menunggu terlalu lama. “Kita harus mencarinya,” ucap Sandi dengan suara tegas. Mereka berangkat menuju malam, berusaha menembus kegelapan.
“Budi! Di mana kau?” teriak Tia, suaranya menggetarkan hutan sekeliling. Namun yang mereka terima hanyalah kesenyapan. Semakin dalam mereka melangkah, semakin terasa keras suara desiran angin yang bergoyang.
Setelah berjalan beberapa waktu, mereka bertemu dengan jejak di tanah. “Ini jejak Budi!” Sandi berteriak, melihat jejak sepatu yang tertinggal. Mereka mengikuti jejak tersebut dengan harapan bisa menemukan Budi segera.
Satu langkah demi satu langkah, ketakutan mulai menguasai mereka. Tia melihat cahaya kuning samar di kejauhan. “Itu!” Tia menunjuk ke arah cahaya samar itu. “Ayo, kita harus pergi ke sana!”
Tia dan Sandi berlari menuju cahaya, tetapi saat mereka sampai, yang mereka temukan adalah sebuah altar tua yang dikelilingi oleh batu-batu besar. “Apa ini?” tanya Tia bingung.
“Sepertinya… tempat ritual,” jawab Sandi, meneliti lebih jauh. Di atas altar itu terdapat berbagai simbol dan totem yang aneh. Makin lama, mereka merasa tidak nyaman.
Kesunyian hutan tiba-tiba dipecahkan oleh suara berderak dari belakang. Tia dan Sandi berputar cepat, dan betapa terkejutnya mereka ketika melihat bayangan besar melintas antara pepohonan. “Siapa di sana?! Budi?” teriak Tia dengan suara takut.
Sekilas, mereka bisa melihat sosok tinggi besar, berbulu hitam, dengan blaus-kuning kemerahan. Muka makhluk itu tersembunyi bayangan malam, tetapi matanya kuning menyala mengawasi mereka.
“Lari!” teriak Sandi, tetapi belum sempat mereka berlari, makhluk itu menyerang. Dengan gerakan cepat, makhluk itu melompat menghampiri mereka, menitiskan auman yang menggema di seluruh hutan.
Tia dan Sandi berlari sekuat tenaga, tetapi makhluk itu terus mengikuti mereka, mendekat dengan kecepatan yang tidak bisa mereka bayangkan. Mereka tidak tahu apa yang akan terjadi, tetapi rasa takut melanda tubuh mereka.
“Selamanya… terperangkap!” makhluk itu menggeram, suaranya seperti bergetar dari ketakutan. Mereka berlari menuju kawasan gelap, mencari jalan ke belakang altar, tetapi jalan keluar tampak tertutup semak belukar.
Tiba-tiba, Sandi berbelok ke arah lain, berusaha menemukan tempat persembunyian. Tia mengikuti, tetapi saat berpindah, mereka terpisah oleh semak-semak rimbun.
Tia berusaha memanggil Sandi, tetapi tak ada jawaban. “Sandi! Di mana kau?” Matanya bergetar dan hatinya berdebar, tetapi suara hanya tinggal gema. Dia terjebak dalam hutan tanpa arah.
Ketika Tia berusaha bergerak maju, suara cacophony kembali menggema, dan dari antara pepohonan, makhluk itu muncul kembali. Dia bisa melihatnya lebih jelas—sosok yang menakutkan, seekor serigala besar dengan tatapan lapar. Namun, anehnya, ada sesuatu yang bisa dilihat dari tatapannya; kerinduan dan kesepian.
“Jangan dekati!” teriak Tia ketakutan, tetapi makhluk itu hanya berdiri, menatap tajam, seolah mencoba berbicara.
Dari kejauhan, Tia mendengar teriakan Sandi, dan dengan cepat, dia berlari menuju suara itu. “Sandi!” Ia terjebak antara ketakutan dan harapan.
Sandi berlari dengan panik, terlihat di antara bayangan di balik semak. Yang ia lihat sangat mencolok—setumpuk kayu membara di dekat altar. Sekilas, dia tersandung, dan tepat di belakangnya, sosok serigala besar itu muncul.
Tia melihat dan berlari menghampiri Sandi. “Berhenti!” teriak Tia, tetapi Sandi tampak terpaku, terperangkap dalam ketakutan oleh makhluk itu.
“Serigala… hati-hati, Tia!” Sandi terengah-engah. Suara makhluk itu meredupkan kesunyian, dan semua yang ada di sekitar seolah berhenti sesaat.
Makhluk itu menggelengkan kepalanya, seolah mencoba menjalin komunikasi. “Hanya satu malam, dan kutukan menanti…” sisa suara mengejutkan.
Sandi dan Tia merasa ingin pingsan. Melihat makhluk itu menghampiri mereka, punggung mereka terasa terjepit antara kenyataan dan mimpi buruk.
“Kalau kita bisa menemukan jalan keluar!” Tia berusaha tenang, menggenggam tangan Sandi. “Bersembunyi bukan solusi!” Dia berusaha memikirkan rencana.
Menghadapi kesulitan, mereka berlari ke arah lain dan menemukan jalan sempit yang mengarah keluar hutan. Namun, jalan itu bukan tanpa bahaya. Dan saat malam semakin larut, rasa tak berdaya mengisi udara.
“Kita perlu menemui Budi!” Sandi berusaha mencari harapan. Agak berpikir sejenak saat mereka menyusuri jalan hutan, terdengar teriakan lain dari arah yang tidak terduga. “Budi!”
Namun, saat melangkah lebih jauh, Kathy menghadapi bayangan mengerikan di hadapan mereka. Detik demi detik mengalir, dan saat tanya jawab menjadi semakin tegang, di ujung sana sosok yang amat dikenal. Itu adalah Budi—tetapi ia tidak lagi sama.
Wajahnya pucat, matanya kosong, dan tubuhnya tidak lagi memberi sinyal kemanusiaan. “Budi?” Tia terkejut. “Kau… kau sudah hilang!”
Budi tersenyum aneh, dan dari mulutnya keluar suara makhluk: “Kalian tidak bisa pergi. Kalian adalah bagian dari saya.” Dengan pertumbuhan aneh yang bukan lagi ciri manusia, Budi melangkah, dan makhluk itu di belakangnya bergerak lebih dekat.
Tia merasakan jantungnya berdegup kencang. “Budi, ingat siapa kita? Ini adalah hutan yang membuat kita terjebak!” teriaknya, berusaha menyulut kesadaran sahabatnya.
Namun, yang mereka lihat adalah seorang pemuda yang terperangkap dalam kegelapan.
Sandi di sampingnya, menggeleng-gelengkan kepalanya, berusaha naluri berjuang menembus kegelapan. “Kami tidak akan menyerah! Ini bukan akhir!” Itulah yang mereka berjanji.
Serangan yang tiba-tiba mengalir di sekeliling. Dalam kegelapan malam, mereka merasakan betapa menakutkannya situasi ini. Ketiga remaja terjebak dalam kabut melawan makhluk yang membayangi, tetapi mereka mulai berkumpul kembali, berusaha berjuang menuju gerbang keluar.
Maka, dalam perjalanan yang penuh dengan rasa putus asa, hati mereka menjerit melawan bayang-bayang hakikat yang menakutkan. Suara hutan menggema dan derak langkah kakinya menjadi hujan di malam yang gelap.
Setelah berlari beberapa lama, satu hal selanjutnya: mereka dihadapkan pada sudut hutan, dan di depan mereka adalah cahaya samar dari luar.
“Sini!” teriak Sandi, berusaha mengambil langkah lebih cepat. Jika mereka bisa mencapai cahaya, harapan bisa kembali.
Saat mereka mendekati cahaya, makhluk itu membuat suara-geraman menakutkan. Namun, saat itulah mereka melihat gerbang terang di ujung yang lebih luas. “Pergi! Kita bisa melakukannya! Ini satu-satunya jalan!” teriak Tia.
Tetapi saat mereka mencapai gerbang, sosok besar itu berdiri di sana, siap untuk mencegah mereka pergi.
“Tidak ada yang bisa melarikan diri!” suaranya terdengar menggelegar. Namun, semangat dan imajinasi Tia dan Sandi adalah kekuatan yang lebih mendalam. Mereka hampir bisa merasakan keputusan yang terbuka.
Dengan keberanian yang tersisa, mereka merangkul Budi dan, tanpa ragu, mencoba menggali suara pengharapan. Dengan hati-hati Armand melewati bundel energi, dan saat bersamaan, Budi berjuang dan mulailah memisahkan diri.
Cahaya menyilaukan, dan saat mereka melaluinya, perasaan gelap semakin jauh. Dan saat bulan mulai tenggelam, suara auman di belakang mereka berkurang, hilang di balik bayang-bayang hutan.
Pagi menjelang, dan dengan cahaya yang pelan, mereka menemukan diri mereka kembali di pinggir desa.
Tak ada kata-kata yang tepat. Dengan bersyukur, Arman, bahkan dalam kesedihan, bersatu kembali dengan teman-teman yang selamat; kisah hutan lebat menjadi bagian dari kehidupan mereka selamanya, untuk mengingat bahwa kekuatan, persahabatan, dan harapan selalu dapat bersatu dalam kegelapan.
KEYAKINAN.COM – Yakin Loe?