Beha69 – Di sebuah desa terpencil yang jauh dari keramaian kota, terdapat sebuah rumah tua yang dikenal dengan julukan “Rumah Tumbal” di Ujung. Rumah itu berdiri megah namun menyeramkan, dengan dinding-dinding berlumut dan jendela-jendela yang berderit tertiup angin. Cerita yang beredar mengatakan bahwa rumah tersebut telah menjadi tempat berbagai ritual mistis dan persembahan gelap sejak zaman dahulu kala.
Suatu ketika, sekelompok mahasiswa yang terdiri dari lima orang—Andi, Mira, Joko, Sari, dan Beni—memutuskan untuk melakukan penelitian tentang mitos lokal sebagai bagian dari tugas akhir mereka. Tertarik dengan cerita tentang Rumah Tumbal, mereka berencana untuk mengunjungi dan menyelidiki tempat itu. Meski mendapat peringatan dari penduduk setempat, rasa ingin tahu mereka jauh lebih besar daripada rasa takut.
Pada pagi yang cerah, mereka berangkat menuju desa yang terpencil itu. Sesampainya di sana, mereka merasakan atmosfer berbeda. Meski cahaya matahari masih bersinar terang, ada keheningan mencekam yang menyelubungi desa. Penduduk desa menatap mereka dengan rasa was-was, seolah-olah mengetahui bahaya yang akan mereka hadapi.
Setelah beristirahat sejenak, mereka berjalan kaki menuju Rumah Tumbal. Di jalan kecil menuju rumah tersebut, mereka melewati pepohonan rimbun yang membentuk terowongan alami. Suasana di sana begitu sunyi, hanya suara burung gagak yang sesekali memecah keheningan.
Setibanya di depan gerbang rumah, semua tampak membisu, terperangkap dalam pesona kelam rumah tersebut. Gerbang besi tua itu berderit saat mereka mendorongnya, membuka jalan menuju halaman luas yang dipenuhi rumput liar dan tanaman merambat.
Mereka memasuki rumah dengan perasaan campur aduk. Di dalam, suasana semakin menyeramkan. Ruangan-ruangan yang dipenuhi debu dan perabotan tua menambah kesan angker. Namun, di tengah gelap dan sepinya rumah itu, Mira merasakan sesuatu yang lebih. Ada energi aneh yang seakan mengundang mereka untuk menjelajah lebih dalam.
Di lantai dasar, mereka menemukan sebuah ruangan besar, tampaknya bekas ruang pertemuan. Ada lukisan-lukisan kuno di dinding yang menggambarkan ritual-ritual aneh. Joko, yang ahli dalam sejarah, menjelaskan bahwa lukisan-lukisan itu sepertinya menggambarkan upacara persembahan kepada entitas gelap.
Mereka kemudian melanjutkan penjelajahan ke lantai atas. Di sana, mereka menemukan sebuah kamar yang tampak lebih terawat. Di atas meja terdapat buku berdebu dengan sampul kulit usang. Saat membukanya, mereka menemukan teks dalam bahasa kuno dengan gambar-gambar yang menyeramkan. Sari, yang sedikit mengerti bahasa kuno, membaca beberapa kalimat yang menyatakan kebutuhan akan “jiwa-jiwa murni untuk menjaga keseimbangan.”
Seketika, suasana mulai berubah. Udara di sekitar mereka menebal, dan suara-suara aneh mulai terdengar, layaknya bisikan dari dinding-dinding usang itu. “Kita harus tetap bersama,” kata Andi, berusaha mengusir rasa takut. Namun, seiring berjalannya waktu, mereka menyadari bahwa sesuatu yang tak terlihat sedang memperhatikan mereka.
Saat malam tiba, rumah itu menjadi semakin menakutkan. Angin mendesir melalui celah-celah dinding, menciptakan suara-suara menakutkan yang mengisi setiap sudut ruangan. Kelimanya memutuskan untuk berkumpul di ruang tengah, berharap bisa saling menguatkan.
Tiba-tiba, lampu senter Beni berkedip-kedip sebelum akhirnya padam. Dalam kegelapan, mereka mendengar suara langkah kaki yang mendekat. Seketika, Mira melihat sekilas sosok bayangan melintas di depan pintu.
“Apakah kalian melihat itu?” bisiknya ketakutan. Yang lainnya hanya bisa mengangguk, merasa ngeri. Mereka memutuskan untuk segera meninggalkan rumah itu, tetapi saat menuju pintu keluar, pintu tersebut tiba-tiba membanting tertutup dengan sendirinya.
Kepanikan melanda, membuat Beni berusaha membuka paksa pintu tersebut namun sia-sia. Di tengah usaha mereka, suara tawa halus terdengar, diikuti oleh bayangan-bayangan yang bergerak di dinding, menari mengikuti irama yang tak terdengar.
Merasa terjebak, mereka memutuskan untuk kembali ke ruang tengah, berharap menemukan cara lain untuk keluar. Saat itulah, Joko menemukan sebuah pintu rahasia di belakang lemari tua. Dengan susah payah, mereka mendorong lemari tersebut dan membuka pintunya. Pintu itu mengarah ke sebuah lorong sempit yang menurun ke bawah tanah.
Meskipun ragu, mereka sepakat untuk mengikuti lorong tersebut. Dengan hanya berbekal sinar dari ponsel Sari, mereka melangkahkan kaki perlahan. Lorong itu berakhir pada sebuah ruangan bawah tanah dengan altar di tengahnya, di atasnya ada simbol-simbol aneh yang terukir.
“Ini mungkin tempat persembahannya,” bisik Beni, memandangi ruangan dengan ketakutan. Tiba-tiba, suara gaib menggema di sekitar mereka, memanggil nama-nama mereka satu per satu. Sari, yang paling sensitif, mulai menangis ketakutan. “Kita harus keluar dari sini sekarang!”
Saat mencari-cari jalan keluar, mereka menemukan sebuah jendela kecil yang tertutup jeruji besi. Dengan segala daya, Andi dan Joko berusaha membukanya, sementara yang lain mencoba menahan ketakutan yang semakin mencekam.
Ketika mereka hampir putus asa, tiba-tiba suara gemuruh terdengar, diikuti oleh goncangan hebat. Sebuah rekahan muncul di dinding sebelah, memberikan mereka jalur baru untuk melarikan diri. Tanpa berpikir panjang, mereka segera melewati celah tersebut, berlari menuju kebebasan meskipun kaki mereka terluka oleh puing-puing berserakan.
Mereka terhuyung keluar dari rumah yang kini tampak lebih menyeramkan, kembali ke jalan setapak yang digelapi malam. Nafas mereka terengah-engah, namun mereka merasa lega berhasil lari dari cengkeraman Rumah Tumbal.
Kini, meski mereka akhirnya selamat, trauma dan rasa penasaran akan pengalaman tersebut tetap membekas. Mereka menyadari bahwa tidak semua misteri harus diungkap, karena ada beberapa hal yang lebih baik dibiarkan tersembunyi, terutama yang berkaitan dengan dunia yang tak sepenuhnya dapat dipahami akal manusia.
Kembali ke kota, masing-masing dari mereka membawa pulang pelajaran berharga tentang keberanian, persahabatan, dan batas antara keberanian dan kebodohan. Cerita tentang Rumah Tumbal tetap hidup di desa itu, sebagai pengingat bahwa beberapa tempat menyimpan sejarah kelam yang lebih baik tidak diganggu lagi.
KEYAKINAN.COM – Yakin Loe?