Prolog
Beha69 – Di sebuah desa terpencil yang dikelilingi hutan dan perbukitan, terdapat sebuah rel kereta tua yang tidak lagi digunakan. Rel yang melintasi desa ini dikenal sebagai “Rel Kereta Hantu.” Banyak penduduk desa melarang anak-anak untuk mendekatinya, terutama setelah matahari terbenam. Konon, pada setiap malam, seorang pria berjubah hitam muncul di sepanjang rel, menunggu kereta yang tidak pernah datang. Kisah ini akan mengisahkan seorang pemuda bernama Adi yang nekat menjelajahi rel kereta ini, tidak menyadari bahwa keputusannya akan membawanya ke dalam kegelapan yang tak terduga.
Suara yang Menghantui
Adi adalah seorang pemuda berusia 22 tahun yang baru saja lulus kuliah. Penuh rasa ingin tahu dan semangat, ia bertekad untuk mencari petualangan. Mendengar tentang Rel Kereta Hantu dari teman-temannya, Adi merasa tertarik dan bertekad untuk mengunjungi tempat tersebut.
“Teman-teman, kita harus pergi ke sana malam ini!” Riko, sahabat Adi, menyuarakan ide tersebut.
“Apakah kamu gila? Kita tidak seharusnya berada di sana!” Budi mencoba mencegahnya dengan nada tidak percaya.
“Ah, jangan khawatir. Semua ini hanya cerita!” balas Adi penuh percaya diri.
Setelah banyak perdebatan, Riko dan beberapa teman akhirnya sepakat untuk menemani Adi. Malam itu, mereka berkumpul di halaman rumah Adi dan bersiap untuk petualangan mereka. Dengan perlengkapan sederhana—beberapa senter, kamera, dan camilan—mereka berangkat ke rel kereta tua.
Menuju Rel
Saat berjalan menyusuri jalan setapak menuju rel kereta, kabut tebal mulai menyelimuti. Suasana malam begitu sunyi, hanya terdengar suara langkah kaki mereka. Adi merasa kegembiraan menyelimuti rasa takut. Namun, saat mereka semakin dekat, getaran aneh menjalar di seluruh tubuhnya.
“Lihat, itu rel keretanya!” kata Riko, menunjuk ke arah sambungan rel tua yang berkarat.
Begitu hingga di sana, suasana terasa mencekam. Nisan-nisan tua berdiri meninggi, dan suasana malam terlihat lebih muram. Adi menyalakan senter dan mulai menyusuri rel, sedangkan Riko merekam video dengan ponselnya, berharap untuk menangkap momen yang menegangkan.
“Jangan hilang fokus! Kita harus tetap bersama,” Budi mengingatkan.
“Mau ke mana?” tanya Adi sambil tertawa, “Takut dengan arwah?”
Suara yang Terasa Dekat
Setelah menelusuri rel selama beberapa saat, mereka tak menemukan apapun, tetapi suasana terasa semakin tidak nyaman. Suara gemerisik dari semak-semak di sebelah kanan mulai menarik perhatian mereka.
“Siapa di sana?” Riko berpaling, suaranya tergetar. Namun tidak ada jawaban.
Adi merasa penasaran dan melangkah sedikit lebih dekat ke semak-semak yang bergetar. Dengan hati-hati, dia menyinari senter ke arah semak tersebut. Tidakkah ada yang bisa terlihat di sana.
“Eh, lihat itu!” Fitri, yang sejak tadi diam, menunjuk ke arah rel. Semua pandangan mereka tertuju pada jejak kaki yang membekas di tanah. “Kayaknya ini baru saja ada seseorang.”
Mendengar itu, jantung Adi berdetak lebih cepat. “Mungkin ada orang lain di sini?”
“Tapi sudah larut malam. Siapa yang akan ada di sini?” Budi menambahkan, merasa cemas.
Tiba-tiba, derak suara mengingatkan mereka. Seolah ada sesuatu yang menghampiri mereka dari arah kereta, semakin mendekat.
Pertemuan Pertama
Ketika Adi berbalik, dia melihat sosok pria berjubah hitam yang muncul dari kegelapan. Jubahnya menyelimuti tubuhnya hingga wajahnya tertutup, dan auranya seakan meluap dengan energi jahat.
“Selamat datang…” suara serak pria itu menggema menembus malam.
“Siapa kau?” seru Adi, berusaha untuk tetap tegar, meskipun ketakutan mulai menyergapnya.
Sosok itu tidak menjawab seketika. Ia hanya berdiri diam, tatapan kosong menghujam ke arah mereka. Rasa cemas merayap di dalam benak mereka.
“Kau datang menunggu kereta?” sosok itu akhirnya berbicara. Suaranya terkesan mengancam dan misterius.
“T-tidak, kami hanya berkunjung,” jawab Riko, suaranya bergetar. Dia merasakan hawa dingin yang aneh.
“Ini adalah tempat yang sakral,” pria berjubah itu berkata, “dan tidak ada yang boleh mengganggu tempat ini.”
Kepergian yang Tak Terduga
Pria itu mulai melangkah mendekat. Adi merasa pening. Segera dia berteriak, “Kami tidak berniat mengganggu, kami hanya ingin pergi!” Kemudian, dalam kepanikan, mereka berbalik dan berlari kembali ke jalan setapak.
Tanpa menengok, mereka berlari sekuat tenaga, suara derap langkah mengikuti di belakang. Adrenaline menyebar di seluruh tubuh mereka ketika mereka melihat sosok itu mengejar mereka, bayangannya terus membesar dengan setiap langkah.
“Faster! Ada sosok!” teriak Budi, merasakan ketakutan membara. Mereka berlari hingga napas mereka tersengal-sengal, berusaha melawan kegelapan yang menyatukan mereka.
Ketika mereka berlari keluar dari rel kereta, Riko yang paling dekat dengan pintu keluar berteriak, “Aku bisa melihat cahaya, cepat!”
Melawan Kegelapan
Meski Adi dan teman-teman merasa lega melihat cahaya di depan, mereka tetap merasakan sosok pria berjubah itu mengintai dari belakang. Dalam perjalanan kembali ke desa, bayangan sosok itu terus mengejar mereka. Di dalam hati mereka, rasa syukur dan ketakutan menjadi satu.
Akhirnya, setelah berhasil keluar dari rel, merek terhuyung-huyung menuju desa. Namun, pengalaman menegangkan itu meninggalkan jejak di otak mereka.
“Malam ini adalah pengalaman terburuk dalam hidupku,” ucap Riko, bersandar pada pohon dalam keletihan.
“Kurasa kita harus menyelidiki lebih lanjut tentang pria itu dan rel kereta,” kata Budi, dan Adi mengangguk setuju. Rasa ingin tahu dan ketakutan membara di dalam diri mereka.
Mencari Kebenaran
Keesokan paginya, setelah berusaha menenangkan diri, mereka memutuskan untuk mencari informasi lebih lanjut tentang sosok pria berjubah di rel. Mereka pergi ke perpustakaan desa, tempat di mana banyak sejarah dan legenda dapat ditemukan.
Dengan usia gedung yang sudah tua, Adi dan yang lainnya berusaha menggali lebih dalam. Mereka menemukan beberapa dokumen dan berita lama yang mengisahkan tentang kecelakaan kereta yang menghebohkan, yang menyebabkan banyak korban jiwa.
“Lihat ini! Pada tahun 1973, kereta yang melintasi jalur ini derajat tergelincir dan menyebabkan banyak orang hilang!” seru Adi.
Mereka terperangah saat membuka buku dengan foto-foto yang menunjukkan lokasi kecelakaan dan nama-nama korban yang terdaftar. “Aku rasa pria berjubah itu adalah salah satu dari mereka!” kata Riko merenungkan.
Kembali Lagi ke Rel
Setelah memahami kisah kelam yang menyelimuti rel kereta itu, rasa ingin tahu membuat mereka bertekad untuk kembali ke sana. Mereka membawa lilin dan bunga sebagai tanda penghormatan bagi para korban.
Malam itu, mereka kembali ke rel dengan penuh perasaan campur aduk; cemas, tetapi bertekad. Begitu sampai di depan Rel Kereta Hantu, suasana yang mengerikan terasa menjalar lagi.
“Bawa kami di sini… untuk mengenang kami…” suatu bisikan halus meresap ke telinga mereka. Suara itu terdengar lemah, tetapi mendesak.
“Apakah kalian mendengar itu?” Fitri bertanya dengan suara pelan, sementara cahaya lilin bergetar.
“Ada yang ingin kita katakan,” Adi mulai berbicara dengan mantap. “Kami datang untuk mengenang kalian yang terperangkap di sini.”
Penyebaran Harapan
Di tengah perjalanan untuk memberikan penghormatan kepada arwah-arwah yang hilang, sekali lagi sosok pria berjubah itu muncul. Kali ini, ia tidak tampak mengancam. Dia berdiri dengan tenang, menatap mereka dengan penuh harapan.
“Terima kasih telah mengenang kami. Kami tidak ingin ditinggalkan,” sosok itu berkata dengan suaranya yang berat, tetapi kali ini ada nuansa lembut di dalamnya.
“Aku berjanji untuk memberi tahu orang-orang tentang kisah kalian,” Riko niat ada di dalam hatinya.
Sosok itu hanya tersenyum. Dalam momen itu, kabut dan ketenangan mulai menyelimuti rel kereta. Angin yang berhembus lembut memberi mereka kehangatan.
Kembali ke Kehidupan Normal
Setelah malam itu, para remaja kembali ke desa dengan rasa lega. Mereka telah belajar untuk menghormati jiwa-jiwa yang hilang dan memahami pentingnya mengenang yang terlupakan. Keesokan harinya, mereka berkumpul untuk merencanakan penggalangan dana dan upacara tahunan untuk menghormati para korban kecelakaan kereta.
Sejak saat itu, Rel Kereta Hantu tidak lagi dianggap angker. Melainkan menjadi simbol harapan bagi masyarakat. Setiap tahun, mereka akan mengadakan upacara di lokasi tersebut, mengenang mereka yang hilang dan berbagi kisah dengan generasi muda tentang tragedi tersebut, agar semua orang memahami pentingnya menghargai kehidupan.
Kenangan Selamanya
Dengan berjalannya waktu, Rel Kereta Hantu menjadi saksi bisu harapan, menjadi pengingat bagi semua orang yang melaluinya. Para pemuda yang dulu ketakutan kini menjadi suara bagi yang tidak terdengar. Adi, Riko, Fitri, dan Budi terus berjuang atas kenangan dan juga untuk menjaga cerita-cerita dari tragedi, bahwa sejarah dan arwah-arwah yang hilang tidak akan pernah dilupakan.
KEYAKINAN.COM – Yakin Loe?